Bakso Oleh Dina Anisa Uh, panasnya. Udara siang ini terasa sangat panas. Rasanya ubun-ubunku mau pecah. Sebagai hamba Tuhan yang beriman, dalam keadaan superpanas seperti ini pun, aku tetap bersyukur. Gimana nggak, Tuhan telah merancang dan menyusun stuktur tubuh kita sedemikian rupa, sehingga nggak melepuh atau meleleh kalau kena panas matahari, nggak karatan atau jamuran kalau kena hujan. Ya, Tuhan, terima kasih, bisikku. Dan di saat-saat genting seperti itu (duh, memang lagi perang?), bayangan bang Karta sudah melambai-lambai di pelupuk mata. Yah, bang Karta dengan kedai baksonya yang mangkal di mulut gang saturnus itu. Cocok sekali disebut pahlawan. Selain bakso merupakan makanan kebangsaanku, bayangan segelas es kelapa muda menari-menari dan memamerkan gemerincing sendok yang beradu dengan gelas. Hmmm, rasanya kerongkonganku tambah kering. Kupercepat ayunan sepatu rodaku mengingat itu semua. Sudah terbayang segelas kelapa muda yang segar Tunggu Bang Karta, aku datang, bisikku dalam hati, nggak sabar. "Halo, Bang Karta! Biasa yah," sapaku pada pemilik kedai itu setelah melewati pintu lebar bangunan yang berbentuk pendopo. Ya ampun ramainya! Memang jam-jam bubaran sekolah begini suasana di kedai bang Karta dijamin berjubel. "Ditanggung beres, tapi tunggu dulu ya, Mbak," sahut bang karta seraya menyiapkan pesanan para pelanggannya. Bang Karta memang sudah hafal betul dengan menuku. Semangkuk bakso, pakai sayur, tanpa tahu, dan segelas es kelapa muda. Meskipun di situ tersedia beberapa menu lain, sedikit pun aku tak tergoda. Aku sama sekali nggak pernah nyobain, meski beberapa temenku bilang, "Hmmm, siomay-nya sedap banget lho, Ren. Coba deh," kata Nono waktu kami makan bareng di situ. Nuri juga nggak ketinggalan manas-manasin aku. "Heran nih si Renda. Dari zaman koin sampai ATM, menunya itu-itu aja. Udah berapa biji bakso tuh, yang ada di perutmu? Eh, Ren. Es telernya juga ocrit banget lho," katanya sambil menyodorkan gelasnya yang berisi es teler ke arahku. "Nggak ah. Aku sih pengen tetep fresh. Kali aja ada cowok cakep mampir ke sini," sahutku nggak mau kalah. "Kok ngelamun aja, Mbak. Ini pesanannya," kata bang Karta yang tahu-tahu meletakkan pesananku di meja. Karena nggak ada tempat kosong lagi, mau nggak mau aku duduk di satu-satunya meja kosong, deket jendela. Lumayan, masih kena angin yang bisa ngeringin keringat di rambut dan dahiku. "Makasih ya Bang," sahutku sambil langsung meneguk es kelapa muda. Kerongkonganku mendadak sueger. Setelah merasa lega, kuletakkan kembali gelas berisi es kelapa muda itu. Langsung saja kulakukan beberapa ritualku setiap kali makan bakso. Kumasukkan 1 sendok saus tomat dan 2 sendok sambal sambil menambahkan kecap sesendok. Kuaduk sebentar isi mangkok itu untuk mencampurkan saus dan sambelnya. "Lho!" seruku waktu melihat isi mangkukku. Bang Karta yang sedang membersihkan meja di sebelahku ikut kaget. "Ada apa Mbak Renda?" tanyanya. "Ini Bang, ada tahunya," kataku. "Lho, padahal tadi nggak pakai kok," katanya keheranan. "Bang, punya saya ada yang kurang nih. Wah Bang Karta sudah lupa sama kebiasaan saya rupanya," seru cowok yang duduk berjarak dua meja dariku sambil meletakkan botol kecap, persis di samping piring jeruk nipis yang tersedia. "Oh, maaf mas Ken. Jadi rupanya…" Aku heran melihat bang Karta yang senyum-senyum, berganti-ganti melihat ke arah mangkukku dan mangkuk cowok itu. "Maafin Bang Karta ya. Rupanya mangkuknya ketukar. Karena ini kesalahan Bang Karta, sini biar Abang ganti yang baru," kata bang Karta, mau mengangkat mangkukku. "Eh, tunggu bang," seru cowok itu sambil bangkit dari kursinya dan membawa mangkuknya menuju ke arahku. "Kenapa Mas?" tanya bang Karta. "Dik, baksonya sudah dimakan apa belum?" tanyanya, yang kujawab dengan gelengan kepala. Aku langsung paham maksudnya. "Oke deh." Dia ngajak tukeran mangkuk. Aku tahu dia belum makan baksonya, juga karena dia baru kembali ke tempat duduknya setelah membeli tabloid di kios seberang. "Santai aja deh Bang. Nggak apa-apa kok," kataku waktu bang Karta ngotot minta supaya mangkuk kami diganti yang baru. "Iya, lagian udah mulai ramai tuh Bang. Saya udah nggak tahan nih. Udah lapar buanget," kata Ken. "Baiklah. Tapi sekali lagi Abang minta maaf lho," kata bang Karta sebelum meninggalkan kami. Setelah kepergian bang Karta, Ken minta izin supaya kuperbolehkan duduk semeja denganku. Kemudian dia menyedok bakso di mangkuknya setelah mencocol potongan daging bulat itu dengan saus tomat. "Aww, hah, huh, uffhh…" serunya sambil mengipas-ngipas mulut dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya sibuk menggapai gelasnya yang berisi es jeruk. Aku baru sadar kalau aku udah membubuhkan saus dan sambel sesuai takaranku. Bagi Ken mungkin bisa membuatnya merem melek sambil ngeluarin asap warna hijau dan merah keabu-abuan. Sebaliknya, baksoku rasanya muuaaaniiiiss dan kueeecuuut banget. Mungkin dia ngasih kecapnya sebotol plus jeruk nipis sekarung. Kami nggak nyangka kalau bakso kami rasanya superkacau seperti ini. Tapi… kekacauan yang satu ini justru merupakan awal fase hidup kami yang lain. Itulah awal perkenalanku dengan Ken. Kejadian hari itu terekam baik di memoriku. Hari ini tepat tiga tahun sejak peristiwa itu. Aku duduk di semester empat fakultas seni rupa di perguruan tinggai negeri di kotaku. Sedangkan Ken melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Jepang. Hubunganku dengan Ken terjalin kira-kira setahun lebih sebulan setelah jumpa pertama kami. Usianya lima tahun lebih tua dariku, sesuai harapanku. Menurutku, itu jarak ideal. Nenekku bilang, cewek akan tampak lebih tua kalau jalan sama cowok seumuran. Entah kenapa aku percaya sama nenek… Penulis adalah mahasiswa STIBA Malang